Sukro; Snack yang Telah Menemani Masa Kecil Kami

Loading


Setelah sekian lama berdiam diri di balik kesibukan dan ketiadaan topik untuk ditulis, saya akhirnya sadar dan berpikir bahwa ada begitu banyak cerita masa kecil yang perlu dinarasikan agar tidak lenyap ditelan zaman. Menyadari hal ini, demi memenuhi kriteria tabeite yang dikenal dengan tagar; kami menulis apa yang bisa kami tulis. Saya pun mencoba mengumpulkan kembali serpihan memori masa kecil.

Sebagai lelaki Manggarai yang sedari kecil mengenal tentang kerasnya hidup, saya tahu dan sadar bahwa banting diri tulang adalah harga yang mesti dibayar untuk bisa bertahan hidup atau umumnya untuk mendapatkan sesuatu. Ko bayangkan, untuk mendapatkan sebatang rokok Golden Djitoe saja tidak mudah, apalagi membangun rumah tangga baru, Ferguso. Tetapi pada dasarnya hidup adalah perjuangan. Teruslah berusaha dan bermimpi asal saja tidak bangun kesiangan. Ups!

Mengingat kembali pengalaman masa kecil terkadang membuat baper. Bisa dibayangkan, satu slide roti itu dibagi kepada anak-anak sekampung. Belum lagi jika berjalan dengan lawan jenis, orang yang melihat itu dengan mudah menilai bahwa mereka itu pacaran.Padahal dari segi usia, masih seumuran jagung. Masa kecil memang unik dan memiliki cerita yang beragam dari waktu ke waktu. Tetapi satu hal ini yang tetap eksis di setiap zaman, yaitu tentang kacang Sukro.

Adakah orang Manggarai, generasi Y, yang tidak pernah makan kacang Sukro?  Saya yakin tidak ada. Orang kampung macam saya, kacang Sukro adalah snack favorit. Lain halnya lagi jika pernah menyandang status jomlo anak kos. Kacang Sukro ini menjadi saksi bisu saat kanker (kantong kering) untuk dijadikan tolakan minum sopi.

Di Manggarai, kacang Sukro bukan saja tentang snack tetapi juga memiliki makna lain.  Di mana Sukro merupakan akronim dari “Suka Repot Orang”. Sebutan Sukro ini tidak asing lagi dilontarkan oleh tanta-tanta yang kerap berkumpul mencari kutu bahkan sampai ke tingkat yang lebih tinggi yaitu saat arisan. Mereka kerapkali menjuluki orang yang suka  gosip atau suka mencampuri urusan orang lain dengan sebutan Sukro.

Sedangkan di kalangan anak-anak, kacang Sukro merupakan snack favorit. Selain karena rasanya enak dan gurih, harganya juga terjangkau. Hampir di setiap kios tersedia. Kendati demikian, untuk sebagian orang juga tidaklah mudah mendapatkannya. Meskipun harganya murah, tidak menutup kemungkinan bahwa setiap hari diberi uang jajan oleh orangtua atau disuruh Mama untuk membeli Aji No Moto (micin) sehingga dengan demikian bisa disiasati kembaliannya untuk membeli  sebungkus kacang Sukro.

Hal yang (tidak perlu) kita pelajari dari satu bungkus kacang Sukro adalah kita bisa menjadi tuan atau raja seketika atas yang lainnya. Bayangkan saja, untuk mendapatkan satu butir kacang mesti tunduk kepada si pemilik kacang. Apapun yang diperintahkan pemilik kacang, yang tidak memiliki uang selalu menjadi tenaga siap pakai untuk melaksanakan semacam tugas. Disuruh memukul teman yang lain tanpa takut dipukul balik. Juga sebagai objek sogok untuk mengerjakan tugas dari sekolah. Yang kedua ini biasanya pemilik kacang yang malas belajar tapi punya uang jajan yang lebih. Ehmm…

Bukan berarti yang lain juga tidak akan pernah menjadi tuan atas kasus kecil ini. Siapa yang memiliki uang, hampir pasti dia akan membeli Sukro untuk membalas dendam tingkah temannya yang pernah menjadikannya anak buah kecil agar mendapat Sukro sebagai sewa. Perilaku ini akan berakibat fatal bila berlebihan dan tanpa pengawasan orangtua masing-masing. Di kampung, anak-anak bisa saja memicu pertengkaran antar orangtua. Apalagi ibu-ibu. Ini bahaya jika tanpa pengawasan.

Di sisi lain, sebungkus Sukro mampu mempererat pertemanan. Sebab sebagai anak kampung, sangat peka pada keadaan diri. Tahu memiliki sesuatu yang lebih namun sadar memiliki kekurangan, di sini Sukro bisa berperan sebagai alat barter untuk menukar kelebihan. Si A punya Sukro dan si B pintar mengerjakan PR, sebungkus Sukro bisa menuntaskan PR yang sama atau berbeda dari si A. Atau juga dalam contoh lainnya.

Generasi Z tahu apa soal ini. Kalian hanya paham soal gadget, tidak dikasih sedikit oleh orangtua, kalian sudah marah besar. Mana lagi kalau kalian dikasih makan nasi dengan lauk yang serba enak untuk dimakan juga menangis. Kebanyakan kalian, generasi Z, begitu. Malas makan. Eh, supaya kalian tahu, zaman kami masih usia anak-anak, tidak dapat makanan pasti menangis. Kalian malah sebaliknya. Ada-ada saja kalian ini. Ah!

Penulis: Dhony Djematu | Tua Panga|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *