Susahnya Menjadi Anak Kepala Desa di Manggarai Timur

Loading


Kalau ada yang bilang jadi anak Kepala Desa itu enak, jangan percaya. Tidak semua anak Kepala Desa hidup berkecukupan, tidak semua anak Kepala Desa dihormati warga desa, pun tidak semua anak Kepala Desa disukai banyak perempuan. Hadeh, yang terakhir itu gaya-gayaan redaksi tabeite.com saja.

Sekitar 15 tahun yang lalu Bapak saya terpilih menjadi Kepala Desa di desa kami, tepatnya di Manggarai Timur. Saat itu beliau masih gagah, berani dan tampan tentunya. Ketampanan itulah yang membuat Ibu saya klepek klepek. Tuhan semoga saja mereka tidak membaca tabeite.com.

Karena baru terpilih, Bapak saya didatangi banyak tamu. Ada yang membawa ucapan selamat, membawa gratifikasi agar diangkat jadi aparat desa, juga membawa petuah agar menjadi Kepala Desa yang bersih dan disenangi masyarakat. Yang membawa petuah ini adalah para sesepuh yang konon katanya pernah berjasa bagi desa kami. Kalau disandingkan dengan konteks Pilpres, sesepuh tadi adalah Om Amien Rais, yang dijuluki Bapak Reformasi itu.

Sebagai Kepala Desa yang berusaha bijaksana, Bapak saya menerima semua tamu yang datang dengan ramah. Ucapan selamat dibalas ucapan terima kasih, petuah didengarnya serius, dan gratifikasi….gratifikasi….. gratifikasi. Ehm saya lupa, semoga saja saat itu ditolaknya.

Para pemirsa, eh pembaca, kalau boleh sombong, Bapak saya paling pas kalau dijuluki Bapak Pembangunan. Tahun pertama beliau sukses membangun jalan Lintas Luar di beberapa kampung di desa kami. Berkat jalan yang dibangunnya itu, masyarakat mulai membuat rumah dengan menyebar ke Lintas Luar tersebut, alhasil rumah masyarakat tidak lagi menumpuk di tengah kampung.

Konsep Bapak saya ini memang top punya alias keren, tetapi tidak bagi saya anaknya. Masalahnya, saat saya berkumpul di tengah kampung  dan perkumpulan tersebut dirasa sepi, yang disalahkan pasti saya. Mereka selalu bilang bahwa, sepi yang merasuki perkumpulan kami disebabkan oleh Bapak saya. Terlepas dari apakah itu candaan atau serius, sebagai anak yang patuh terhadap orangtua, saya sakit hati. Ingin saya pukuli mereka satu per satu, sayangnya badan saya tidak mendukung untuk melakukan hal tersebut .

Kemudian Bapak saya memasang saluran air minum di Desa kami. Di sudut-sudut kampung  dipasang keran air.

Sekarang sumber air su dekat, beta sonde pernah terlambat lagi. Lebih mudah bantu mama ambil air untuk mandi adik. Karena mudah ambil air katong bisa hidup sehat

Masih ingat iklan aqua yang satu ini kan ?? Sumpah, iklan tersebut paling cocok menggambarkan keadaan di desa kami setelah saluran air masuk ke kampung-kampung.

Jika sebelumnya “Air yang kami cari”, semasa Bapak saya menjadi Kepala Desa, airnya sendiri yang datang berkunjung ke kampung kami. Atau jangan-jangan iklan Aqua terinspirasi dari Bapak saya ya?Penuh harap.

Tetapi sebagai anak Kepala Desa, lagi-lagi saya yang disalahkan saat saluran air macet. Mereka bilang, gara-gara bapak saya memasang saluran air minum hingga ke kampung-kampung, mereka jadi malas untuk menimba air saat saluran airnya macet.  

Sebagai anak yang menghormati orangtua, ingin saya menendang pantat mereka yang berkata seperti itu. Tetapi sayangnya mereka sesepuh yang tadi bertamu ke rumah, yang saya bilang mirip Om Amien Rais itu. Mengingat mereka adalah sesepuh, saya pun mengurungkan niat baik saya itu.

setelah masa jabatanya habis dan rekam jejak Bapak saya lumayan bagus, banyak masyarakat yang membujuknya untuk kembali mencalonkan diri menjadi Kepala Desa.

Sebagai manusia yang sedikit baik dan juga berdosa tentunya, bujukan itu diterima dengan baik pula oleh beliau. Tetapi saat pencalonan berlangsung, tidak ada satu pun yang berani bertarung melawan Bapak saya. Saya menduga, karena saat itu belum ada dana desa. Coba kalau ada, hadeeh pasti rame.

Karena Bapak Saya tidak ingin dibilang sombong, kemudian dia membujuk adik sepupunya untuk menjadi lawan di PILKADES kali itu. Sejujurnya keberadaan sepupunya itu formalitas semata. Hasilnya Bapak saya menang telak.

Saat beliau kembali menjadi Kepala Desa, ada- ada saja yang bilang kalau bapak saya menang karena melawan sepupunya. Sebagai anak serta warga desa yang menghormati hasil perhitungan panitia PILKADES, ingin saya memukulnya dengan balok. Tetapi sayangnya yang berkata demikian adalah sepupu bapak saya sendiri, yang tadi melawan bapak saya.

Setelah bapak saya tidak menjadi Kepala Desa pun saya masih saja diolok-olok dengan sebutan anak de mantan. Saya mau cubit orang yang berkata demikian, tapi sayangnya, dia pacar saya sendiri. Sebagai gantinya,
setiap dia mengolok saya, saya kecup saja keningnya. Masalah selesai.

Penulis : Popind Davianus |Tu’a Golo|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *