Tabe Yo Maria
Hari itu menjadi hari terakhir di bulan suci bagi umat Kristiani. Bulan di mana hampir setiap malam aku menceritakan keluh kesahku tentang lika-liku perjalanan hidup di dunia kepada Maria. Aku secara diam-diam menyembah dan berdoa kepadaNya, mengisahkan semua dosa yang telah aku lakukan di masa lalu, sembari memohon ampun agar kembali pada jalan hidup yang benar. Kelopak mataku sudah tak sanggup lagi meneteskan air mata, sudah terlalu banyak orang yang aku lukai dengan kasih sayang yang tak tulus.
“Nak, kau seorang perempuan. Kelak jika kau melahirkan buah hati seperti ibu telah melahirkan kau ke dunia ini, aku minta kau mengajarkan anak-anakmu berdoa, minta pertolongan Tuhan dengan cara menyerahkan diri secara utuh.” Itu satu-satunya pesan ibu yang masih kuingat sebelum ia pergi meninggalkan aku dan ayah, kekasihnya.
Pesan itu membuka kembali ingatan tentang sosok wanita tua yang telah lama tak kujumpai menemani ayah setiap kembali dari kebun. Aku tidak ingin mencari tahu kemana wanita itu pergi. Ayah selalu saja mengalih topik pembicaraan saat aku menanyakan keberadaan ibu. Terakhir, katanya ibu jatuh sakit dan sedang berobat ke dokter, di Puskesmas Benteng Jawa. Sejak mendengar kabar itu, aku berjanji pada ayah untuk tidak mencari tahu keberadaan ibu lagi. Aku tahu, hal itu hanya akan menyakiti hati ayah.
Waktu berlalu begitu cepat, aku benar-benar merasa kehilangan sosok ibu. Suatu hari aku memutuskan untuk pergi mencari kemana ibu pergi. Hari itu hujan kian deras mengguyuri kota kecamatan. Aku menepi di depan salah satu toko bahan bangunan yang telah tua, dekat rumah jabatan Camat Lamba Leda. Beberapa orang juga ikut menepi di sana. Di bawah rintik hujan, aku sengaja melempar senyum pada setiap mereka yang kutemui, berharap memberiku jawaban tentang keberadaan ibu. Sayangnya, tak seorangpun yang menyahutku.
“Apakah orang-orang di Lamba Leda yang selama ini terkenal ramah sudah lupa caranya tersenyum?” Tanyaku dalam hati.
Aku terus melangkah menuju perempatan dekat puskemas, tempat ibuku dirawat.
“Kenapa ibu meninggalkan aku tanpa memeberitahuku ke mana ia pergi?”Aku kembali bertanya pada beberapa pengendara sepera motor yang sedang mangkal di perempatan menuju pasar. Tetapi mereka tetap tidak memberiku jawaban.
Aku meminta mereka mengantarku mencari ibu, aku pikir ibu sedang berdoa di gereja. Namun yang kudapati pintu gereja tertutup rapat. Aku melewati setiap ruas jalan kota kecamatan yang kian kelam karena kabut dan kehilangan cahaya.
Alunan nada yang syahdu mengiringi langkahku kembali menuju jalan raya, melewati kompleks pertokoan menuju kantor kecamatan mengikuti pengendara sepada motor dari arah Benteng Jawa menuju kampung Ketang, melewati pemukiman warga Tengku Leda.
Aku berlari sekuat tenaga, hingga berjalan sejajar dengan mereka, tetapi tetap saja mereka tidak peduli. Karena belum puas, aku terus berjalan sejauh tiga kilometer menuju utara, keringat terus mengalir pada sekujur tubuh hingga membasahi kebaya biru yang aku kenakan dan belum sempat aku ganti sejak beberapa hari terakhir.
Dari kejauhan, aku sesekali melihat hamparan padi yang mulai menguning di persawahan Wae Wina. Suara teriakan teman-temanku terdegar sangat jelas dari kompleks sekolah SMAN 1 Lamba Leda.
Aku terus berjalan melewati pertigaan jalan raya Benteng Jawa menuju Dampek. Aku menoleh kanan-kiri sebelum melewati jalan masuk yang bertuliskan “Selamat datang di gua Maria Cingcoleng”. Aku memastikan tidak ada mata yang mengawasiku berjalan menuju gua Maria. Tempat ziarah umat Katolik di bulan rosario.
Aku terus melangkah menuju tempat parkir kendaraan. Aku merasa denyut jantungku dua kali lebih cepat dari biasanya.
Sebelum memasuki stapak kayu menuju kapela, mataku dimanjakan oleh suguhan indahnya panorama hutan Werwitu yang berhadapan dengan persawahan warga kampung Ketang di tengah semburat warna jingga yang mulai menampakan diri.
“Benar kata ibu, sungguh indah alam ciptaan Tuhan”. Pikirku dalam hati.
Aku menatap jarum jam yang menempel pada dinding kapela menujukan pukul 16:00 WITA. Aku perlahan berjalan melewati anak tangga, sambil sesekali melihat gambar Yesus pada setiap papan putih yang bertuliskan perhentian pertama hingga perhentian terakhir, aku lupa berapa jumlah papan itu.
Beberapa gambar di antaranya terpampang wajah Yesus penuh lumuran darah. Ini kali kedua aku melihat gambar yang sama setelah yang pertama di dalam Gereja St. Paulus Benteng Jawa di Bukit Sion. Begitu mereka menjelas tentang letak gereja di pusat kota kecamatan Lamba Leda itu.
Aku terus melangkah menuju gua, satu per satu cahaya lilin mulai redup termakan cahaya. Aku pengunjung terakhir yang datang mengujungi Maria. Aku tidak membawa apa-apa seperti kebanyak orang yang datang sebelum aku, selain sehelai kain yang sengaja aku lipat dalam saku celana.
Dengan penuh penyesalan aku mulai berlutut tepat di bawah kaki Maria. Aku mulai menatap wajahNya dengan sungguh-sungguh. Aku takut Ia menolak kedatanganku, seperti kebanyakan orang yang menolakku di luar sana.
Aku perlahan memejamkan mata dan mulai berdoa, setelah mengayun tangan kananku menuju dahi, turun ke dada, tepat pada ulu hati, lalu pindah ke lengan kiri, dan berakhir kembali di lengan kanan. Aku tersenyum malu, ternyata aku masih pantas menyatakan tanda kemenangan Kristus.
Aku benar-benar datang menyerahkan diri secara utuh. Tak ada suara yang terdengar selain gemercik air yang mengalir dari dalam gua dan suara kepakan sayap kelelawar memecah keheningan. Saat itu aku merasa semakin dekat dengan Bunda Maria. Dengan sangat hati-hati aku menatap ke arah sebelah kiri tepat patung Yesus terbaring kaku dalam pelukan Maria, ibuNya.

Hembusan angin seakan memeluk tubuhku yang basah bekas keringat. Rambutku perlahan mengikuti irama alunan angin. Tanganku meraih sehelai kain dari dalam celana, lalu mengusap wajahku yang penuh keringat. Saat itu aku membayangkan wajah ayah di hadapan Maria.
“Tabe yo Maria” Kataku perlahan, sambil kembali menatap wajahNya dengan sujud sembah.
Aku kembali berlutut, kulihat nyala lilin mulai menghilang. Sebagian sisi gua sudah mulai gelap. Kicauan burung gereja mulai memadati seisi langit untuk kembali ke sarang setelah seharian mengembara di alam bebas.
Air mataku tak tertahan dan kembali menangis di hadapan Maria.
“Aku mencari ibu, dia pergi tanpa pamit padaku, Bunda”. Dengan suara sedih, aku mulai menjelaskan tujuanku datang ke tempat ini.
“Veronika, anakku. Ibumu sedang ada bersamaKu di tempat ini” Suara laki-laki terdengar sangat lembut dari dalam gua.
Aku mencari sumber suara yang baru saja terdengar, namun aku tidak menemukan siapa-siapa selain sebuah gambar diriku yang berada di antara tumpukan intensi pengunjung di gua itu.
“Kenapa fotoku berada di tumpukan ini, Bunda?”. Karena penasaran, aku kembali bertanya.
“Anakku, berapa waktu lalu kau pergi mencari ibumu dan meninggalkan ayahmu seorang diri, saat itu tubuhmu terbaring kaku. Aku belum memanggilmu pulang, Nak. Kau telah melakukan dosa hingga banyak orang meratapi kepergianmu” Kini suara itu semakin jelas datang dari balik patung Maria yang sedang berdiri.
Setelah mendegar suara itu, aku sadar, aku bersalah telah membuat kecewa orang-orang yang mencintaiku dengan tulus. Setelah pergi dan sengaja mengasingkan diri dari dunia, aku pikir ini satu-satunya jalan menuju kebahagian, ternyata Ia tidak mengizinkan aku mengakhiri kesempatan hidup dengan membunuh diri. Biarkan kita pulang atas kehendakNya.
Aku metatap kearah anak tangga menuju kapela di gua itu, kulihat ayah sedang menangis. Aku memanggilnya, namun ia tidak memberi jawaban apapun seperti kebanyakan orang yang aku jumpai di jalan menuju tempat ini.
Maafkan aku, Ayah. Iklaskan kepergianku mencari ibu.
Aku menyesal atas semua yang telah terjadi. Ternyata ayah, gereja, dan Maria melarangku untuk pergi. Mereka benar-benar sayang padaku.
Berapa saat berselang, aku melihat berapa orang termasuk ayah berada bersama seorang ketua KBG di tempat doa yang berada tepat di ujung bibir gua. Dengan suasana hening, aku melihat mereka berdiri mengambil sikap yang pantas untuk berdoa. Barangkali mereka sadar bahwa pada akhirnya setiap orang yang pergi akan didoakan.
Kulihat ibu berada di sisi kanan Maria, ia tersenyum bahagia. Pakaiannya putih bersinar. Rambutnya diikat kepang dua. Saat itu ibu terlihat sangat cantik.
Semakin lama, nada lantunan suara mereka seperti pelan-pelan memudar. Meski terdengar kian rapuh, aku ingat persis penggalan nada syahdu yang mereka ucapkan.
Tabe yo Maria,
Ata penong le widang nggeluk,
Mori Kraeng agu Ite
***
Tabe yo Maria = Salam ya Maria.
Doa ini merupakan doa Katolik berbahasa daerah Manggarai yang diucapkan setelah peristiwa. Biasanya doa ini diucapkan secara bergilir setiap bulan rosario.
Penulis : Osth Junas|Tua Panga|