Takhté Siah dan Potret Pendidikan Indonesia

Sumber Gambar: mubi.com
Frumens Arwan | Redaksi
Di bukit-bukit Kurdhistan yang kering, di antara sudut-sudut tebing yang terjal, sekelompok pria muncul dengan pakaian penuh debu. Sebuah papan kayu hitam besar berbentuk persegi panjang diikatkan pada punggung mereka. Dengan papan itu mereka tampak seperti burung hitam-besar dengan sayap terentang.
Papan yang mereka bawa itu adalah takhté siah, yang dalam bahasa Indonesia disebut ‘papan tulis’. Di Kurdhistan-Iran yang sunyi akibat perang mereka mencari anak-anak yang mau belajar menulis dan membaca. Begitulah, ketika semua orang sibuk bertahan hidup dan menyelamatkan diri, hanya guru-guru itulah yang sadar akan pentingnya pendidikan.
Kisah ini diceritakan dalam film Takhté Siah/The Blackboards (2000). Film ini berfokus pada sekelompok pengungsi Kurdi setelah pemboman kimia Halabja, tempat tinggal orang Kurdi, oleh Saddam Hussein selama Perang Iran-Irak (1980-1988). Bom dan senjata kimia membuat desa-desa dan sekolah hancur. Akibatnya, anak-anak tidak bisa bersekolah. Selain itu, guru-guru kehilangan pekerjaannya.
Di tengah situasi yang demikian, sekelompok guru berusaha mencari murid untuk diajarkan membaca dan menulis. Mereka membawa papan tulis (takhté siah)―satu-satunya yang tersisa selama perang―dan mulai menelusuri daerah di bebukitan Kurdhistan yang kosong dan rusak akibat perang: mencari murid dan mengajar.
Sebagian besar film berfokus pada dua orang guru, Said dan Reeboir, yang berpisah dari kelompoknya. Diceritakan bahwa mereka bertemu dengan para pengungsi Kurdi dan mengalami bahwa dalam situasi perang yang genting itu, orang-orang tidak peduli dengan pendidikan. “Keselamatan mereka tidak terletak pada keaksaraan atau matematika dasar, tetapi dalam adaptasi mereka dengan lingkungannya”. Sampai selesai, film bergulir dalam tegangan itu.
Film Takhté Siah pada dasarnya menggambarkan sebuah realitas yang terjadi dalam dunia pendidikan orang-orang Kurdi yang hancur akibat perang. Menurut Goenawan Mohamad, momen surealistis dalam film Takhté Siah menghadirkan dua hal sekaligus: cerita tentang sejarah yang bisu dan keras; dan penggambaran atas kondisi pendidikan.

Lantas, situasi pendidikan macam apa yang persisnya ditampilkan dalam film Takhté Siah? Pertama, dalam kondisi perang, di mana kebutuhan utama masyarakatnya hanya soal makan dan bertahan hidup, pendidikan dianggap tidak penting. Di negeri orang-orang Kurdi, misalnya, ketika perang berlangsung, orang-orang terikat dengan tanah, keluarga, dan urusan mencari nafkah dan mengabaikan pendidikan.
Dalam sebuah adegan, ketika Said masuk ke perkampungan orang-orang Kurdi yang sunyi untuk mengajar, ia menghadapi kenyataan yang tragis: tidak ada yang peduli dengan pendidikan.
Juga ketika Reeboir bertemu dengan sekelompok anak laki-laki yang membawa sejumlah barang seludupan, mereka mencemooh keinginannya untuk mengajari mereka cara berhitung. Kata mereka, “Boslah yang akan melakukan pembukuan, sementara kami hanyalah keledai”. Lagipula, menurut Gibson, “mengapa juga mereka harus belajar membaca buku ketika mereka memiliki banyak cerita untuk diceritakan tentang kehidupan mereka sendiri”.
Kedua, film Takhté Siah memperlihatkan relasi yang tidak seimbang antara guru dan murid. Dalam salah satu adegan, guru Reeboir bertemu dengan seorang anak yang sedang memantau bebukitan Kurdhistan dengan sebuah teropong miliknya. Anak itu dengan keras menolak pentingnya belajar. “Tidak ada gunannya,” katanya.
Bahkan, dengan kurang ajar ia menolak pertanyaan Reeboir tentang di mana desa. “Di sini, di sana, di sini, di sana,” katanya. Situasi ini menurut Gibson, menyulut hubungan antagonis yang mengganggu antara guru yang tak berdaya dan anak yang sombong.
Ketiga, Takhté Siah memperlihatkan tugas mengajar guru dalam kondisi perang sebagai sesuatu yang tampaknya penuh ambiguitas. Di satu sisi, Said dan Reeboir mencoba menyadarkan orang-orang Kurdi, khususnya anak-anak muda, tentang pentingnya membaca dan menulis untuk masa depan mereka.
Di sisi lain, mereka mencoba mencari imbalan, baik uang maupun makanan. Papan tulis yang seharusnya dipakai sebagai alat peraga praktis, misalnya, dipakai Said sebagai mahar untuk pengantin barunya, Halaleh. Inilah sisi pragmatis seorang guru. Film Takhté Siah persis berlangsung dalam tegangan itu.
Film Takhté Siah pada dasarnya merepresentasikan situasi pendidikan dalam masyarakat yang terbelakang. Mereka cenderung menganggap pengetahuan itu sebagai sesuatu yang kurang penting karena kerja dan kegiatan mereka sepenuhnya diarahkan untuk kebutuhan jangka pendek semata, seperti makan dan minum.
Selain itu, film ini memperlihatkan adanya relasi tidak seimbang antara guru dan murid. Sekarang pun terjadi demikian. Guru yang otoriter atau murid minder. Murid yang sombong atau guru yang tak berdaya. Film ini juga memperlihatkan peran guru yang tampak penuh ambiguitas.
Di satu sisi, guru memiliki tugas pokok untuk mencerdaskan anak-anak didiknya dan memberikan mereka cara pandang yang baru tentang dunia. Namun, di sisi lain, mereka dituntut oleh keadaan untuk menjadi pragmatis. Dalam hal ini, mereka bisa saja mengorbankan esensi dari tugas mengajar mereka demi mendapatkan upah dan sebagainya.

Lantas, nilai-nilai apa yang bisa diambil dari film Takhté Siah untuk pendidikan Indonesia? Pertama, film Takhté Siah sebenarnya menggugat kita dengan pertanyaan: ‘Apa gunanya pendidikan di dunia ini?’
Salah satu adegan awal dalam film ini menjawab dengan baik pertanyaan tersebut. Ketika Said berpisah dari kelompok yang lain, ia berpapasan dengan seorang petani yang sedang memilah gandum. Petani yang tidak bisa membaca itu memintanya untuk membacakan surat dari putranya yang mendekam di sebuah penjara di Irak. Akan tetapi, Said tidak bisa mengerti bahasa yang digunakan di dalam surat tersebut. Demi menyenangkan hati petani itu, ia mulai mengarang isi surat itu dengan mengucapkan kata-kata yang menyenangkan hati si petani tua itu. Petani itu pun merasa senang dan sangat berterima kasih kepada Said.
Kedua, film Takhté Siah mengajarkan bahwa pekerjaan seorang guru tidak boleh direduksi menjadi sebuah profesi yang berorientasi pada upah semata. Pendidikan akan menjadi sesuatu yang kehilangan maknanya ketika guru sebagai pengajar hanya menganggap pekerjaannya sebagai sebuah profesi semata demi upah. Mereka dituntut untuk terlibat secara penuh dalam aktivitas mengajar itu sendiri, yakni mengangkat moral dan akhlak sang murid.
Ketiga, film Takhté Siah agaknya merepresentasikan situasi pendidikan di Indonesia semasa pandemi covid-19, di mana banyak orang tua kehilangan pekerjaannya sehingga anak-anaknya harus berhenti sekolah. Pandemi adalah perang karena meskipun tanpa bom dan senjata kimia, pandemi nyatanya telah melumpukan hampir semua sektor kehidupan manusia.
Dalam situasi seperti itu, gurulah yang harus berperan aktif dalam membimbing dan mendidik murid-muridnya. Guru-guru dalam film Takhté Siah menjalankan peran krusial ini dengan sangat baik. Dalam kondisi mencekam akibat perang mereka tidak henti-hentinya berusaha menemukan murid untuk diajari membaca dan menulis.
Akan tetapi, guru hanyalah salah satu elemen. Film Takhté Siah juga mengajarkan bahwa betapa pun pentingnya ruang kelas, sarana-sarana yang digunakan, dan bahkan guru itu sendiri, elemen yang jauh lebih penting adalah murid itu sendiri. Dalam hal ini, murid juga lah harus membuka dirinya terhadap pengetahuan-pengetahuan baru yang diberikan oleh para guru.