Tanah Manggarai dan Betrand Peto Sudah Bikin Saya Sombong

Loading


Sudah hampir dua tahun saya tinggal di Medan. Status saya adalah sebagai anak rantau, anak kos, anak yang berkelakuan baik tentu saja. Namun saya bukan anak-anak. Hehe. Iya lah, masa masih anak-anak sudah merantau. Jauh pula. Jauh? Iya jauh, saya jauh-jauh dari Flores merantau ke Medan. Sebelumnya saya menekankan tulisan ini pengalaman pribadi saya yang saya bagikan dalam bentuk tulisan tidak penting. Ya tulis saja apa yang bisa saya tulis sesuai dengan prinsip Tabeite yaitu kami menulis apa yang bisa kami tulis.

Berbicara tentang Medan, saat pertama saya datang ke sini ada beberapa perbedaan yang mencolok dengan setelah saya hampir dua tahun merantau di sini. Perbedaan yang saya maksud adalah tanggapan orang di sekitar saya tentang Flores dulu waktu pertama saya datang dengan sekarang sangat jauh sekali. Masih jelas dalam ingatan pertama kali menginjakkan kaki ke kota Medan ini, saya berjuang keras menyesuaikan diri. Terutama menghadapi suara-suara orang Medan yang kuat dan sedikit “kasar”. Sekuat-kuatnya orang Flores berbicara lebih kuat suaranya orang Medan, guys. Waktu masih di Flores, suara saya ini sudah termasuk dalam kategori suara paling kuat, namun di sini? Omaigod, di hari pertama masuk kerja rekan kerja saya berkomentar “Kecil kali suara kau!” Hahaha.

Walaupun suara saya kecil, mereka tetap tertarik berkenalan dengan saya. Apa karena kulit saya tidak putih dan rambut saya tidak lurus? Begitulah kira-kira, andai saya neting alias negative thinking. Namun sumpah mati saat itu saya tidak pernah berpikir demikian. “Orang mana kau Dek?” “ Orang Manggarai.”Saya selalu menjawab saya orang Manggarai Guys. Entah kenapa. Saya suka saja menyebut sesuatu mulai dari yang lebih spesifik. Walaupun aslinya Manggarai Timur sih. Menurut saya, cukup tahu Manggarai saja dulu, nanti baru saya jelaskan kami di Timur. Hehehe. “ Manggarai? Di mana itu?” “ Di Flores, NTT” “Oh Papua?”. Nah itu dia tanggapan pertama adalah Papua. “Bukan, Papua itu Indonesia Timur. Kami Indonesia tengah”. Sa bawa-bawa zona waktu, guys. “ Oh yang di iklan sekarang sumber air su dekat?” yang lain menanggapi. Tanggapan kedua ini sudah benar. Ya benar to, walaupun bukan di Manggarai, namun Manggrai kan termasuk NTT. Meskipun dalam hati saya protes “ oe kampung saya airnya berlimpah e, kami tidak pernah jauh dari sumber air”. Namun, karena “sumber air su dekat” itu yang terlanjur dikenal bahkan hingga ke pulau Sumatera, akui saja. Setidaknya terkenal dan masih lebih baik daripada “sekarang sumber air masih jauh”. Itu parah.

Kisah tentang NTT di Papua dan “ sekarang sumber air su dekat itu” Cuma masa lalu guys. Iya masa lalu yang terlalu indah untuk dilupakan. Jadi, saya Cuma mengenang saja. Untungnya bukan kenangan menyakitkan tentang mantan pacar yang telah pergi dan tak kembali. Ups curhat. Sekarang saya sudah berdamai dengan kenangan itu. Baik kenangan tentang “ sekarang sumber air su dekat” maupun kenangan tentang mantan pacar. Beberapa hari terakhir ini saya menjadi orang paling sombong di tempat kerja. Bukan hanya di tempat kerja di kos juga. Mengapa saya sombong? Akhir-akhir ini rekan kerja saya sering berkomentar “Cantik kali kampungmu Dek”, “Banyak artis yang liburan ke kampungmu” “Senangnya dekat dengan Labuan Bajo, nanti ajak kami ke sana ya”. Ada juga teman kerja saya yang masih lajang “Pengen kali aku foto prewed di Padar, ‘kan dekat rumahmu nanti bisa sama-sama.” Kalian harus bayangkan bagaimana senyuman manis terukir di bibir saya. Sempat saya berpikir “ Eh bukan sekarang sumber air su dekat lagi kah?” Lupakan! Sekarang berganti menjadi hal yang memang benar-benar spesifik untuk Manggarai. Mereka mulai bertanya-tanya tentang Labuan Bajo. Jika dulu pertanyaanya “Di kampungmu rumahnya masih pake atap alang-alang ya?” sekarang sudah berganti “Dari rumahmu ke Pulau Komodo jauh nggak?” Tidak salah dong, kalau saya mulai angkat wajah, pasang senyum dan mulai berkoar-koar tentang keindahan Tanah Manggarai. Dengan kata lain, saya sombong.

Pernah juga teman kos saya pernah bertanya “Cancar itu dekat dengan rumahmu ya?” “ Iya dekat. Kenapa? Mau ke Lodok kah, sawah yang berbentuk jaring laba-laba.” “ Apa itu Lodok? Cancar kan kampungnya Betrand Peto” Eh bukan karena Lodok kah? Tidak apa-apa, untungnya saya punya teman terpancing, rasa penasarannya dengan sawah berebentuk jaring laba-laba besar juga. OK teman, saya ‘sikat’ sa. Lanjut saja promosi Lodok Guys. Teman saya itu bersyukur sekali, selain kenal Betrand dia juga bisa tahu sawah Lodok di Cancar. Kalau dari sa terima kasih Nana Betrand, semoga nana juga bisa mempromosikan aset wisata kita kepada teman artis, Nana. Asiyaappp!

Penulis: Im Kartini|Tua Panga|

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *