Umur 17, Yang Lain Sibuk TikTok-an, Aku Sibuk Kerja
Elfry Mantor | Kontributor
Hallo! Jika obrolan dengan mantan dimulai dengan cengingas-cengingis tidak jelas, ijinkanlah aku memulai tulisan ini dengan kata “Hallo”. Perkenakan, aku seorang gadis yang lahir tahun 2003 dan sekarang masih berumur tujuh belas tahun. Usia segitu memang sudah lebih dari umur jagung, tetapi toh tetap saja belum setua keladi. Baru saja lepas dari label “bocah”.
Kata orang jika seseorang menginjak usia tujuh belas tahun, itu berarti mereka sedang menikmati masa terindah dalam hidup. Menjadi dewasa dari segi umur, tamat dari bangku SMA lalu masuk ke perguruan tinggi atau main TikTok sepuasnya. Akan tetapi, bagiku hal ini sangatlah berbeda. Berada di usia tujuh belas tahun bagiku bukan melulu soal merayakan masa-masa terindah dalam hidup atau menikmati segala pemberian orang tua. Menginjak usia tujuh belas tahun bagiku adalah soal menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Jujur saja aku pernah mengeluh soal hidupku. Aku bahkan pernah merasa iri dengan gadis-gadis seumuranku ataupun yang lebih tua dariku, mengenai bagaimana mereka menikmati masa-masa awal usia dewasa mereka. Mereka yang baru saja lepas dari euforia menamatkan pendidikan di bangku SMA kini berlomba-lomba mengejar cita-cita mereka dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yangg lebih tinggi (kuliah). Sementara aku, aku sibuk mencari kerja kesana-kemari.
Itu semua karena keadaan. Aku melihat bahwa semakin tua kedua orang tuaku semakin keriput kulit mereka. Tangan yang dulunya mulus dan putih sekarang berubah menjadi kasar dan hitam. Bagaimana tidak, setiap hari mereka berteman dengan terik panas sinar matahari dan dingin angin lembah yang terkadang tak tertahankan. Terkadang aku pun berpikir betapa susahnya mereka mencari kehidupan.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku sadar bahwa barangkali bahagiaku cukup seperti ini. Itu karena ada sosok yang membuatku tidak mengeluh lagi dan membuatku melupakan semua rasa capaiku. Dia adalah lelaki hebat yang sering aku panggil “Ema”.
Suatu sore beliau mengajakku berbincang tentang menjadi seperti apa aku suatu saat nanti. Dengan sopanya beliau berkata, “Enu, untuk pendidikanmu, sampai di SMA saja e. Kami sudah tidak bisa membiayai enu untuk masuk ke perguruan tinggi. Maaf jika impiannya enu gagal. Maaf karena enu tidak seperti teman-temanya enu yang lain yang bisa kuliah. Tapi satu yang harus enu tahu, sukses tidak harus jadi sarjana.”
Setelah mendengar kata-kata itu, dalam hati aku berkata, “Tuhan aku tak akan mengeluh lagi. Aku tak akan memaksa keadaanku lagi. Mungkin ini rencana indah-Mu bagi hidupku.” Aku pun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena telah memberikan aku kedua orang tua yang telah menjadi sosok terbaik dalam hidupku.
Oh iya, mulai bulan September tahun lalu puji Tuhan aku sudah mendapatkan pekerjaan. Aku bekerja di sebuah badan usaha milik negara, yaitu di PT. PERMODALAN NASIONAL MADANI atau biasa sebut PNM. Tentunya aku sangat bersyukur setidaknya harapanku untuk menjadi orang sukses perlahan terwujud.
Sekarang tumpuanku adalah diriku sendiri. Aku harus bisa menjadi gadis yang tangguh, gadis yang tak pernah menyerah akan keadaan. Aku harus bisa buktikan bahwa sukses tidak harus jadi sarjana.
Dan untuk teman-teman yang cerita hidupnya sama sepertiku, aku cuman mau bilang, “Jangan pernah berhenti berjuang! Tuhan tahu kamu kuat. Juga jangan lupa bersyukur karena Tuhan punya cara tersendiri untuk membuat kita bahagia.”
Semangat Elfrida! Kamu hebat. Ema Laurens Amo, Ende Yuliana, salam dari Benteng Jawa. Aku Momang ite.