Untuk Apa Benci Tambang? Dia Baik dan Berguna Bagi Orang di Kampung

Apek Afres & Tuagolo
Menjelang magrib dan saat senja sedang matang-matangnya saya bersyukur karena Tuhan memberikan daerah saya kekayaan alam yang berlimpah. Tuhan begitu baik, Tuhan begitu pengertian.
Saya mau cerita sedikit tentang diri saya. Nama lengkap saya Paulus Tambangdua. Orang-orang sering memanggil saya Tambang. Nama yang sedikit kontroversial bukan? Ingat, nama saya bukan kasus penambangan di Manggarai Timur. Itu nama pemberian orangtua saya. Nama adalah doa, jadi jangan salah paham.
Saya tinggal di kampung udik di suatu daerah. Saya tidak punya kelebihan apa-apa. Saya cuma bisa bernafas, makan, mandi, dan membantu meringankan pekerjaan bapak sebagai petani ulet. Bermain bola saat liga paskah di kampung pun saya hanya mampu bersaing masuk klub ke-3. Klub yang sejatinya hanya sebagai penyumbang uang lotre, tanpa tahu sedikitpun tentang cara menendang bola yang baik. Kemudian penonton tertawa terbahak-bahak menyaksikan kekonyolan kami, klub ke-3.
Yang saya banggakan dari diri saya hanya satu. Saya punya badan yang kekar. Semua orang takut saat saya mulai marah. Beberapa kali, saya memukul anak muda di kampung saat mereka mabuk dan membuat kekacauan. Beberapa orangtua datang menemui bapak saya, meminta uang biaya rumah sakit buat korban yang saya pukuli. Sebagai orang baik, bapak selalu menuruti permintaan mereka. Walau saya protes. Yang salah mereka, bukan saya. Tapi bapak hanya tersenyum, tanpa berkata-kata.
Ada keanehan di kampung saya ketika orang-orang memanggil saya. Tambaaaannngg… Geledak tawa terkuak sesaat. Bersama-sama mereka menertawakan nama saya. Ok baik, nama saya memang jelek dan orang-orang kaitkan dengan sifat yang selalu destruktif.
Saya juga tidak mempersalahkan mereka. Saya tahu masih ada dendam di hati mereka gara-gara kasus tambang di daerah kami, nama saya yang juga Tambang, selalu mereka kaitkan. Investor menghalalkan segala cara untuk melakukan operasi penambangan, mengeruk kekayaan alam kami secara keji. Walaahh, kenapa saya bahas itu lagi. Biarkan itu jadi angin lalu dulu. Saya mau menyelesaikan persoalan nama saya.
Saya camkan satu hal ini. Saya manusia. Saya punya martabat. Jika Saya punya waktu, saya mau buat surat terbuka untuk semua warga kampung. Nama adalah doa. Saya masih pertahankan kepercayaan kuno ini. Jika ada yang menertawakan nama saya berarti mereka menertawakan sesuatu yang sakral. Termasuk, mereka menertawakan nama mereka sendiri.
Nama saya Tambang. Nama ini murni pemberian orangtua saya. Saya tidak menyalahkan “ejekan” dari kalian semua, juga orangtua yang telah memberi saya nama. Saya tahu masih ada luka yang belum terobati di hati kalian semua.
Soal Tambang yang kembar dengan nama saya itu memang menyakitkan. Tapi, saya mau katakan bahwa, saya manusia biasa, saya manusia yang baik, saya punya martabat, saya punya hak dan kewajiban. Saya bukan tambang yang destruktif dan eklsploitatif itu.
Saya, Tambang yang baik hati. Tambang yang juga manusia macam kalian. Saya sering menentang bapak saya untuk tidak merambah hutan demi tanaman kopi. Beruntung bapak sudah bertobat. Kami sepakat untuk tidak merambah hutan lindung.
Hutan lindung, yah hutan lindung. Hutan milik semua orang. Jangan hutannya ditebang kemudian tanahnya diklaim menjadi milik pribadi. Andai kalian yang melakukan perambahan hutan juga sadar, bahwa tambang sama kejamnya dengan merambah hutan. Hentikan!!!! Keduanya sama merusak lingkungan. tentu dengan besar-kecil dampaknya masing-masing.
Sebenarnya saya mau buat surat terbuka untuk orang di kampung tentang tambang yang serupa tapi tak sama dengan saya itu. Tapi sudahlah, itu hanya sebatas cita-cita saja. Saya lebih suka menyendiri dari warga kampung lainnya. Saya juga punya urat malu. Biar berdiam diri saja. Mencari keheningan yang disediakan semesta.
***
Ah sayang, jauh dari warga kampung membuat kebosanan memuncak, mencekik, sesekali menyiksa diri juga. Lebih baik saya mencari tempat untuk bersenang-senang.
Suatu hari saya ke air terjun yang sedikit jauh dari kampung. Pokoknya kekayaan alam yang dekat kampung sudah tercemar semua, gara-gara tambang yang kembar dengan nama saya itu.
“Penjahat sudah datang”, teriak mereka ketika saya sampai di air terjun. Ternyata di dekat sana sudah banyak orang menunggu kedatangan saya. Ada yang pro ada pula yang kontra. Saya hanya tersenyum tipis melihat mereka. Saya berdiam diri dekat ujung aliran air terjun, sambil sesekali melirik seberapa banyak orang yang masih peduli kepada saya, sebagai sesama manusia.
“Sebenarnya kau harus melakukan AMDAL dulu sebelum datang kemari,” teriak mereka yang membenci saya.
“Saya bukan tambang yang merusak daerah kita, saya manusia biasa yang baik-baik saja,” ungkapan kecil di hati saya.
Andai tambang yang satunya lagi itu manusia seperti saya, pasti mukanya akan memerah dan pikirannya berantkan, lalu segera pergi entah ke mana. Keji sekali orang di sekitar sini memperlakukan saya.
“Setelah mandi nanti, kau jangan dihandukkan, kau di reklamasi saja”, sahut seseorang yang sedang siap melompat ke kolam dekat air terjun. Serentak mereka tertawa sangat kencang. Ada yang mulutnya moncong ke saya. Ada yang kasih pantatnya. Bahkan ada yang tunjukan alat kelaminnya ke muka saya. Ini gara-gara kasus tambang sial itu. Siaaaaaallll!!
Keesokan harinya saya mau ke kota dan mencari nafkah di sana. Ejekan di kampung buat saya mati bodoh dan sia-sia. Sesampai di kota nanti saya mesti ganti nama. Bukan lagi Tambang yang warga kampung sesali dan maki-maki, bukan lagi Tambang yang rakus.
“Peduliiiii”, itu nama saya setiba di kota. Saya sengaja ganti nama Peduli, supaya orang kenal saya dengan sifat peduli. Peduli lingkungan khususnya.
Siapa yang peduli lingkungan? Siapa yang peduli Tambang?