Wae Bobo dan Sederet Kisah Menarik Menjadi Anak Asrama di Borong

Wae Bobo dan kenangannya (Sumber foto: Pos Kupang)
Doni Jematu|Tua Golo
Wae Bobo adalah salah satu sungai yang mengalir sepanjang bagian timur wilayah Kecamatan Borong. Segelintir informasi yang dihimpun tentang Wae Bobo pun melebar jauh hingga ke telinga saya . Hulu dari sungai ini terletak di Nceang, Desa Golo Lalong Kecamatan Borong Kabupaten Manggarai Timur. Namun, hingga kini belum diketahui secara pasti panjang dan lebar dari sungai ini. Lagipula bagi sebagian orang (mungkin), panjang dan lebar sungai bukan sesuatu yang urgen untuk diketahui. Seperti halnya di Wae Musur, lebar sungai diukur berkali-kali, ujung-ujungnya mentok di situ. Tak ada kepastian, di-PHP-in terus, tidak ada aksi lanjutannya. So, saya juga tidak mau ambil pusing.
Jangan ke mana-mana dulu Gaes, kita tetap back to Wae Bobo river. Sungai ini memiliki ragam manfaat bagi masyarakat sekitar. Ada yang menggunakannya untuk kebutuhan di bidang pertanian, ada pula yang menggunakannya untuk kebutuhan rumah tangga seperti; mandi, cuci bahkan air untuk diminum. Pendek kata, Wae Bobo menjadi sumber air alternatif untuk masyarakat Kota Borong, jika PDAM yang menjadi kebanggaan negeri ini tidak mengalir. Sebab, bukan rahasia umum lagi, bahwa Borong yang merupakan Ibukota Kabupaten Manggarai Timur mengalami krisis air minum bersih. Sehingga untuk menutupi itu, pilihan satu-satunya adalah ke Wae Bobo. Bukan ke rumah mantan untuk numpang mandi air sumur, apalagi untuk meminta balikan.
Dari dulu hingga sekarang Wae Bobo masih menjadi sungai yang paling banyak dikunjungi oleh warga sekitar. Terutama yang berstatus pelajar dan tinggal di asrama. Dari waktu ke waktu selalu ada cerita menarik tentang kehidupan anak asrama dengan Wae Bobo sebagai tempat untuk mandi, mencuci pakaian atau sekadar untuk mencuci mata sekaligus membersihkan kenangan bersama mantan saat berada pada zona cinta monyet.
Wae Bobo dan Anak Asrama di Borong
Membahas Wae Bobo dan anak asrama di Borong adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, asrama di Borong rata-rata memiliki kendala yang sama yaitu krisis air. Kendati ada beberapa asrama yang saat awal masuk asrama selalu berkelimpaham air. Namun, itu hanya bersifat sementara. Tidak menjamin ketika masuk musim kemarau, sehingga pilihannya tetap ke Wae Bobo. Kalaupun tidak, alternatifnya adalah air sumur.
Saya tinggal di asrama selama enam tahun. Sejak masuk SMP hingga tamat SMA. Waktu yang cukup lama. Banyak pengalaman juga pelajaran berharga yang saya dapat selama tinggal di asrama. Semuanya itu tentu saja tidak akan saya jumpai selama saya tinggal dengan orangtua atau tinggal di kampung halaman yang berkelimpahan air.
Di asrama, bukan hal baru lagi soal masak sendiri, makan sendiri, cuci sendiri dan jalan sendìri. Semuanya dilakukan secara mandiri. Pada titik ini saya sadar bahwasannnya saya ditempa dan dibentuk bukan saja di lingkungan keluarga dan dunia pendidikan semata. Akan tetapi, lika-liku menjadi anak asrama juga turut membentuk kepribadian saya. Demikian juga dengan yang lain, yang pernah menyandang status sebagai anak asrama. Di sanalah kita ditempa dan dibentuk, Gaes.
Di atas semuanya itu, banyak hal menarik menjadi anak asrama di Borong terutama mereka yang kerapkali mengunjungi Wae Bobo.
Pertama, Wae Bobo sebagai tempat untuk mandi. Ini berlaku untuk semua kalangan. Tidak hanya anak asrama. Namun, tidak bisa dimungkiri lagi jika melihat sekelompok orang yang usia SMP atau SMA jalan menuju Sungai Wae Bobo dengan membawa handuk juga ember dan atribut mandi lainnya. Tidak perlu bingung, apalagi harus diintimidasi. Mereka-mereka itu adalah anak asrama yang tentu saja ingin mandi di Wae Bobo.
Kedua, Wae Bobo sebagai tempat untuk mencuci mata. Ini yang paling menarik juga ekstrem. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengetahui tujuan mereka ke Wae Bobo. Bagaimana tidak, mereka jalan tidak membawa apa-apa. Hanya mengandalkan mata juga kaki yang tak lelah bergerak dari satu titik ke titik yang lain demi mendapatkan view yang menarik. Pasalnya, orang yang mandi di Wae Bobo terkadang mengenakan pakaian yang penuh sensasi, dan dapat merangsang imajinasi untuk plesiran entah kemana. Malas tahu. Siapa peduli. Nah, kelompok-kelompok ini yang menjadi objek bidikan dari orang yang masuk pada tipe kedua. Yang dibidik tentu saja yang lawan jenis, Gaes. Sungguh kejam!
Ketiga, Wae Bobo bagi sebagian orang sebagai tempat untuk kencan. Hal ini yang paling menarik. Berjalan kaki berdua pergi-pulang dari Wae Bobo. Ketika sampai di Wae Bobo, mandi berbeda tempat. Sebab anak sekolah mana yang punya nyali mandi bareng pacar. Tidak ada, itu dosa. Sabun dan pasta gigi saja masih dibeli orangtua.
Keempat, Wae Bobo dijadikan spot foto terbaru di Borong. Beberapa waktu lalu sekelompok pemuda kreatif yang berasal dari lintas profesi menginisiasi untuk mewarnai salah satu jembatan di Wae Bobo. Rombeng bridge, demikian nama jembatannya. Jembatan ini diberi warna pelangi; merah, kuning dan hijau.
Ide kreatif ini berhasil menggundang perhatian khalayak. Usai dicat, orang berdatangan ke Borong sekadar melintasi dan mengambil foto yang berlatarkan jembatan pelangi.
Masih banyak hal menarik lainnya tentang anak asrama dan Wae Bobo. Agar tidak ketinggalan, datanglah ke Borong. Tidak harus menjadi anak asrama, cukup jadi kekasih dari pria tampan dan gadis-gadis cantik di Borong. Dengan demikian, Anda bisa merasakan langsung bagaimana dinamika ketika mandi di Wae Bobo.