Wangkar; Lukisan Viral Waktu Saya SD

Kampung Wangkar suka bikin jatuh cinta (Dokumentasi; Foto pribadi)
Im Kartini | Redaksi
Bagi yang pernah mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama, tentu paham betul dengan perasaan yang muncul di baliknya. Perasaan itu begitu sulit digambarkan dengan kata-kata. Sebagian orang mengaku bahwa rasanya adalah seperti sedang terbang. Ada juga yang bilang rasanya seperti sedang berada di taman bunga paling indah. Pokoknya tidak ada satu pun yang bisa mendefenisikan secara pasti seperti apa rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Bagi saya, jatuh cinta pada pandangan pertama bukan melulu soal ketertarikan terhadap lawan jenis, melainkan bisa juga tentang ketertarikan pada benda, binatang, atau tempat tertentu. Dengan kata lain, hidup saya tuh bukan selalu tentang laki-laki Gaes. Bahkan ketika istilah bucin mulai muncul saya belum pernah sekalipun menjadi pelaku utama dalam dunia perbucinan. Maaf, jadi curhat Gaes. Dasar akuh.
Seminggu yang lalu saya diserang penyakit jatuh cinta pada pandangan pertama. Wow! Penasaran kan? Saya tidak pernah menyangka bahwa di Manggarai Timur masih ada tempat sealami Wangkar. Saking alaminya Gaes, sampai akses jalan menuju ke sana masih dalam keadaan rusak parah. Ya, mungkin saja agar kesan alaminya tidak hilang. Saya pikir positif saja dulu e.
Terlepas dari akses jalan yang rusak dan sinyal telepon yang susah, Wangkar berhasil merebut hati saya. Selama tiga hari di sana, saya justru betah walaupun tanpa jaringan telepon. Saya baik-baik saja tanpa Youtube, tanpa Tiktok, tanpa fesbuk, dan juga tanpa pesan rindu dari dia. Ehem!
Saya pernah jatuh cinta sama Jogja. Ya wajar saja kalau saya jatuh cinta karena Jogja memang unik, keren, indah, dan romantis. Namun, tentang Wangkar, saya sempat merasa bingung, kok bisa-bisanya saya jatuh cinta? Sementara sepanjang perjalanan menuju ke sana saja, saya terus mengeluh dalam hati. Bahkan sempat terlintas pikiran untuk kembali saja ke rumah mengingat betapa akan sia-sianya menembus hujan dan mengatasi jalan berlubang hanya demi menemukan sebuah tempat yang saya sendiri pun belum pernah kunjungi.
Saya rasa kalian bisa bayang to, kalau mau bepikir logis. Buat apa sih saya cape-cape ke sana? Lebih baik saya tidur di rumah, apalagi sekarang sedang musim hujan. Namun, saya segera mengutuk pikiran jahat saya itu ketika pertama kali masuk ke kampung Wangkar. Klik! Semacam ada sesuatu yang menancap di hati saya. Sambutan alam yang luar biasa. Ada sawah, sungai, gunung, dan keramahan orang-orang yang bikin hati luluh lantak.
Ada yang berbeda di sana. Iya, ini bukan pertama kalinya saya melihat gunung, sawah, ataupun sungai. Sudah terlalu sering. Ibarat jatuh cinta pada seorang lelaki, tidak peduli berapa banyak lelaki yang sudah pernah kita jumpai, kita tidak pernah bisa memilih pada siapa kita akan jatuh. Tentu saja semuanya terjadi begitu saja, di luar kendali kita. Jujur, saya sedang tidak melebih-lebihkan sesuatu alias lebay.
Oh iya Gaes, ketika melihat Wangkar saya jadi teringat akan sesuatu. Saya pikir saya sudah bisa menggambarkan apa yang beda dari Wangkar ini. Gaes sekalian masih ingat tidak lukisan pemandangan yang sempat viral di zaman SD? Omegat, ada gunung (biasanya ada dua), di kaki gunung ada petak-petak sawah, tarik garis membentuk jalan raya, kalau sempat ditambah sungai, jangan lupa di antara gunung ada matahari. Lukisan itu sekarang benar-benar nyata saya temukan di sini. Kenapa bisa sama? Jadi, buat kalian yang sempat berpikir bahwa gambar pemandangan kita waktu SD dulu hanyalah imajinasi semata, kalian semua salah. Apa yang saya lihat di Wangkar mematahkan pemikiran kalian semua.
Ingin rasanya saya kembali ke bangku SD untuk menggambar lagi tentu saja sambil mengenang keindahan Wangkar. Keindahan yang sederhana, namun begitu dekat dengan perasaan jatuh cinta pada pandangan pertama. Keindahan yang sudah pas, seolah-olah memang telah disajikan dalam takaran yang sesuai dengan kebutuhan mata yang telah jenuh menyaksikan kerusakan alam yang terjadi di mana-mana.
Tanpa sinyal Wangkar sudah begitu indah. Tanpa listrik sudah menggoda. Wangkar yang masih luput dari perhatian banyak pihak, namum mampu berdiri sendiri dan baik-baik saja. Satu yang pasti Wangkar tidak butuh kalimat bernada kasihan “emos miu e, tidak ada sinyal”, mereka baik-baik saja “ngasing te coo gi ga”. Fix, Wangkar baik-baik saja dengan tidak banyak menuntut namun tetap hidup dengan harapan.