Wela; Istri Pusaka Milik Nana Nduk
“Nana, kalau pigi ke Ruteng kah, singgah di rumahnya inang Sebina di Mano.” Saya tidak pernah menduga sebaris kalimat yang keluar dari mulut mama tadi pagi adalah pintu masuk yang membawa kepada situasi “imus rebok” berkepanjangan yang diiringi detak jantung di atas normal, sedikit pusing dan mual, namun perasaan berbunga-bunga terus menghantui layaknya orang yang mabuk sopi ataupun kopi.
* * *
(Di rumah inang Sebina).
“Enu, cepat siapkan makan siang, nana Nduk pasti sudah lapar!” amang Don dengan sedikit berteriak menyuruh putrinya dan disusul dengan jawaban “iyo bapa” dari arah dapur. “Eh, saya tidak lapar amang, sudah makan di Ruteng tadi” belum sempat amang Don menanggapi, cacing-cacing sialan di perut protes menimbulkan bunyi yang membuat pipi saya merona, aisst sial ee! Amang Don hanya tersenyum sembari menghisap sebatang kretek yang saya tawarkan kepada beliau. “Nana bagaimana kabar bapa dan mama?” Inang Sebina yang baru muncul dari arah belakang memecah kebekuan di ruang tamu. ” Baik inang” saya menjawab dengan spontan. Setelahnya bincang-bincang ringan dan gelak tawa memenuhi ruang tamu.
* * *
Suara piring dan sendok dari arah dapur sedikit mengganggu canda tawa kami, namun kami segera sadar sebentar lagi kabar baik akan segera hadir. Tepat sekali! Selang beberapa menit satu per satu menu makan siang di letakkan di meja yang memisahkan antara saya dan amang Don. Mulai dari nasi, sayur, ikang cara, hingga semangkok sambal tertata rapi, sangat menggoda dan tanpa sadar saya langsung teguk ilur ingin segera menyantap hidangannya.
Tanpa sengaja, saya mengalihkan mata dari semua hidangan di meja, kini mata saya menatap sesosok gadis yang mengambil tempat tepat di hadapan saya, di samping amang Don ayahnya. “Oh.. jadi ini dia enu yang menyiapkan makan siangnya”.
“Enu, cau lime dulu dengan nana Nduk Sudah lama kalian tidak ketemu to?” suara inang Sebina seketika membuat saya tersentak, pura-pura menatap ke arah yang lain biar tak ketahuan sedang menatap anak gadisnya inang dan amang.
Canggung tangannya diulurkan, segera saya pun menyambutnya dan tentunya sebisa mungkin menyembunyikan gestur imi amas (aduh..malunya bersentuhan tangan dengan enu molas ini, hehe).
Kami berjabat tangan sederhana, maksudnya tidak dramatis (dilama-lamakan atau slow motion begitu), pokoknya biasa saja, namun (hati ini) tidak biasa. Ada sedikit riak-riak di dada, yang sekian lama tidak tersentuh kaum hawa. Maklum jomblo akut.
“Eh, sambil makan e” amang Don memang paling pandai mencairkan suasana perang hati ini. “Silakan makan kaka Nduk, sederhana saja e. Hanya Ute KUD dan Ikang Cara.” Katanya dengan lembut.
Apa? “Kaka Nduk?” Hampir saja saya melonjak kegirangan. Aduh enu supaya enu tahu nana Manggarai itu kalau dipanggil kaka rasanya seperti melayang-layang mengitari gunung Ranaka. “Eh. I, I ya.. enu.”
Nasi panas ditambah Ute KUD dan Ikang cara nikmatnya tidak seperti biasa lagi, menjadi ribuan kali lebih nikmat karena disantap sambil menikmati imusnya enu. Maaf saya lebay heheh
* * *
Wela namanya. Putri semata wayang inang Sebina dan amang Don yang sedang saya harapkan menjadi kekasih semata wayangnya nana Dus (Nduk) juga. Hingga saya pun pamit untuk kembali ke Borong, senyumnya terus mengembang indah di sudut bibirnya yang ranum itu. Sepanjang perjalanan pulang, saya merasakan sebuah sensasi yang aneh. Burung-burung penghuni hutan di pinggir jalan sekitar danau Rana Mese terasa menyanyikan lagu cinta, udara yang biasanya dingin menjadi hangat menembus hati yang dingin. Sebelum ke rumah saya menyempatkan diri ke pantai Cepi Watu. Sore yang luar biasa, tidak seperti biasanya. Ombak bergulung indah menyentuh bibir pantai, lalu menyentuh ujung jari kaki seolah-olah sedang merayu mengajak diri ini bercerita tentang kisah cinta.
“Ah, andai dari dulu saya singgah di rumah inang” penuh penyesalan saya bergumam.
Wela namanya. Kabar baiknya dia adalah “istri pusaka”saya. Artinya, Garis keturunan telah merestui kami sejak masih dalam kandungan. Wela namanya. Iya Wela. Wela. Oh Wela.
Sial! Ribuan kali hati ini mengucap namanya yang seindah senyumnya. We…, Sebelum suku kata terakhir namanya terucap saya dikagetkan oleh bunyi nada dering HP, pertanda ada pesan masuk.
“Selamat malam kaka Nduk, kalau ada waktu main lagi ke rumah e”
“Wela” tanda pengenal si pengirim pesan.
***
(Ute KUD adalah sayur khas orang Mano yang terbuat dari singkong)*

Penulis: Im Kartini