Yang Berlalu dan Berjalan

Loading


detikNews.com

Herakleitos seorang filosof pra-Sokrates berabad-abad yang lampau terkenal dengan ujarannya ‘panta rhei kai uden menei’ (semuanya mengalir, tak ada yang tinggal tetap).

Ibarat air yang mengaliri satu sungai, meski menyembur dari sumber mata air yang sama, namun tiap tetes yang bergerak dan berarak menuju muara tidak lagi sama dengan tetes-tetes yang lain, baik yang baru, sedang, dan akan mengaliri sungai itu. Bahkan, meski tiap tetesnya mirip, serupa, dan bergerak dengan keajekan yang sama, ia tetap tak lagi sama. Selalu ada kebaruan dalam tiap tetesnya, meski hakikat (substansi)-nya satu dan sama: air.

Demikian pula waktu. Ia sesungguhnya bergerak dan berubah meski berulang dengan keajekan yang persis. Kita yang terperangkap di dalamnya (dan ruang) mau tidak mau harus menggumulinya. Di dalam pelukan ruang dan waktu, kita adalah fana; sedang perubahan itu niscaya dan abadi.

2019 sebentar lagi berlalu. Masing-masing orang tentu punya banyak kisah dan pengalaman, baik yang getir maupun bahagia. Darinya, kita masing-masing bisa menimba banyak pelajaran. Saya secara pribadi di penghujung 2019, ingin membuat catatan kecil, anggaplah semacam refleksi terutama untuk diri saya sendiri. Saya kira sebagai salah satu jemaahnya, facebook punya ruang untuk menyimpan catatan ini.

Barangkali suatu saat nanti saya bakal membacanya kembali, mungkin di atas jamban sambil buang hajat, di kebun ketika mengaso, atau di samping kandang babi usai memberi makan babi-babi. Tentu saja saya membayangkan akan membacanya sambil tersenyum bahkan tertawa. (Terimakasih Zuckerberg!)

Pertama; saya ingin memulai catatan ini dengan sebuah penyesalan. Minat baca saya menurun di tahun ini. Hanya beberapa buku (fiksi dan non-fiksi) yang tuntas saya baca di sepanjang 2019. Harus saya akui, saya bukan tipikal orang yang tertata dan matang dalam membikin suatu perencanaan. Saya bahkan tidak pernah mematok target, berapa jumlah buku yang harus saya baca di sepanjang tahun. Pun membuat inventaris, buku apa yang saja yang telah saya lahap. Demikian pula membuat resensi singkat manakala buku-buku itu telah tuntas saya baca, setidaknya untuk diri saya sendiri.

Masih banyak buku yang tersegel, teronggok dan nelangsa, berdesak-desakkan di rak buku, menanti dijamah dan diintimi isinya.
Semoga di 2020 nanti, libido saya untuk membaca lebih menggebu-gebu, barangkali dibarengi pula dengan semangat dan antusiasme yang sedikit meningkat dalam hal menulis.

Kedua; saya bersyukur. Sangat bersyukur! Ada satu pencapaian di tahun ini yang bagi saya benar-benar di luar dugaan. Menulis di facebook yang bagi saya hanyalah sekadar pelampiasan unek-unek tanpa ada intensi untuk diakui (penulis), ternyata diapresiasi. Tentu saja saya tidak mau melabeli diri saya dengan penulis (Tuhan, sebutan itu teramat keramat sekaligus berat dan saya belum sanggup).

Namun demikian, sesederhananya sebuah karya, minimal ia memberi sesuatu yang positif bagi siapa saja. Pun memberi motivasi dan semangat untuk terus belajar dan berkarya. Terimakasih kepada Taman Baca Hutan 46 Waibalun yang digawangi oleh Bung Karno Larantukan atas kelahiran ‘anak rohani kedua’-nya: Merayakan Senja, setelah ‘si sulung’: Peristiwa Waibalun. Sungguh, saya berterimakasih atas terbitnya karya sederhana itu. Terimakasih seribu. Tetap dan terus mendebur Komunitas Taman Baca Hutan Kayu 46 Waibalun!

Saya teringat kata-kata Bung di suatu Agustus yang panas, menyitir Pater Budi Kleden dalam bahasa Lamaholot (langgam Waibalun), “kalo mau ma’a a tou, wahake di jaga nae sai sempurna kia, maka sai busa ne tara’ kia juga jadi hala hae…” Arti literalnya dalam bahasa Indonesia kira-kira, ” jika ingin berbuat sesuatu, tapi harus menunggu hingga hasilnya sempurna, maka rasa-rasanya sampai kucing memiliki tanduk pun bakalan mustahil…”
Nukilan di atas bisa jadi pijakan untuk terus memulai sesuatu, karena seribu langkah bakal mustahil tanpa satu langkah pertama.

Ketiga, saya bersyukur atas cinta. Terdengar klise dan lebay barangkali. Namun toh saya mengalami dan mereguknya. Terimakasih untuk cinta yang saya peroleh di tiap perjumpaan dan percakapan. Atas ikhtiar ‘amin paling serius’ di pertengahan September, di suatu Minggu yang sakral dan syahdu. Senai’ (sarung tenun untuk lelaki suku Lamaholot) yang menjuntai mengebas tanah, kemeja dan destar merah yang berkibar dicium angin, dan dada yang nyaris sesak dihujam gelisah.

Berdampingan, dengan kewatek’ (sarung tenun untuk perempuan Lamaholot) khas Waibalun yang cerah, dengan mahkota bulu ayam yang anggun di kepala, di hadapan ‘Lera Wulan, Tanah Ekan’ (Tuhan), keluarga, tetua, leluhur, dan Lewotana, ikrar menjadi satu dalam seremoni adat menggema. Semoga semesta merestui. Di altar Tuhan nanti, semoga semuanya akan disempurnakan. Seutuh dan sepenuhnya, bukan lagi dua melainkan satu.

Akhirnya, maaf untuk semua kesalahan. Mari menyongsong 2020 dengan lebih baik dan bahagia…
Malam bae…!!! *smile

Pasar Minggu, 31 Desember 2019.

Oleh: Juan Cromen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *