Ranum Buah di Kebun, Bukti Rahmat Tuhan

0

Loading


Erik Jumpar|Tuagolo

Tinggi pohonnya mencapai sepuluh hingga lima belas meter. Kayunya berwarna kuning. Berkulit hitam. Daunnya kaku. Berbentuk bundar. Berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa. Kulit buahnya berduri dan bergetah. Buahnya yang muda biasa diolah menjadi sayur, sedangkan yang masak biasa dimakan sebagai buah. Buah yang dimaksud diberi nama buah nangka.

Aromanya menempel di tangan dan mulut. Tajam aromanya yang khas membuat orang dengan mudah menebak kalau kita baru saja menikmati buah nangka yang sudah masak. Begitu pemandangan yang akan terasa belakangan ini, saat pengguna jalan yang beruntung sedang melewati pondok sederhana kami di areal Persawahan Golo Molas, Desa Watu Mori, Kecamatan Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, saat di mana kami mengundangnya untuk menyantap buah nangka.

Di tahun ini, buah nangka di kebun kami buahnya berlimpah. Dari delapan pohon yang ada, buah-buah bergelantungan memenuhi dahan-dahannya. Pemandangan ini memanjakan mata, tanda Sang Pemilik Kehidupan  mengalir dengan berkat tanpa henti, rahmat yang perlu disyukuri dengan mengatupkan tangan sembari mendaraskan pujian untuk pemilik kehidupan.  

Pohon-pohon itu berdiri kokoh, memberi banyak buah yang bergelantungan di dahan-dahan. Ada yang masih muda, sebagiannya lagi ada yang telah masak. Buah yang masak dimakan di sela-sela kami datang untuk merawat padi di sawah, dibagi juga dengan tentangga kebun, yang rata-rata kerabat dekat kami.

Suatu  kebiasaan yang tidak pernah absen saat sedang menikmati buah yang sudah masak, kami biasanya memanggil pengguna jalan yang sedang berpergian menuju kebunnya. Ada yang memenuhi panggilan kami, lalu bergabung. Menyantap bersama dan tertawa bahagia. Terkadang memberi pujian kalau buahnya enak, kemudian pulang dengan aroma buah nangka yang masih menempel.

Ada juga kebiasaan yang lain, kali ini pelakunya saya, anak yang adakalanya kurang berbakti dengan orangtua. Saat ada yang meminta, saya biasanya memberi dengan percuma buah nangka yang masih muda.

Pernah di suatu waktu, saya memanggil salah seorang teman yang pulang dari kebun. Menawarinya untuk berhenti sejenak, kami lalu memetik buah nangka yang sudah masak. Menyantapnya bersama, lalu pulang dalam kondisi mulut beraroma nangka. Sebagai bonusnya, usai menyantap buah nangka yang masak, saya menawarinya buah nangka yang masih muda untuk dijadikan sayur. Dapat ditebak kalau ia menyetujuinya.

Ada juga kisah yang lain. Terjadi saat di sawah kami lagi ada kerja, baik saat menanam padi atau memanen padi, tergantung musim buah nangka tentunya. Buah nangka yang lebat,  yang kesannya mubazir kalau tak dibagi-bagi dengan orang-orang yang datang bekerja di sawah, ditawari untuk membawa buah nangka saat pulang ke rumah sehabis bekerja.

Enu, jangan lupa petik buah nangka saat pulang sebentar,” kata Mama di sela-sela istirahat sehabis menikmati santap siang.

“Iya, Tanta.”

Begitu percakapan yang akan terdengar. Mama saya yang baik hati dan tekun bertani itu selalu punya cara-cara jitu untuk berbagi. Bagi saya, hal demikian bagian dari perilaku baik yang mesti ditiru. Jejak langkah yang akan abadi dalam memori orang-orang yang pernah merasakannya.

Tentang pohon-pohon itu, tidak tumbuh begitu saja. Di belakangnya ada tangan nan keras yang menanamnya. Ia yang selalu giat menanam, hasilnya sudah banyak kami tuai. Ia adalah Ayah kami. Maestro keluarga yang hebat. Berkatnya selalu ada buah-buahan yang disuguhkan di atas meja, baik saat dulu di kala kami kecil, hingga sekarang saat usia kami merangkak menuju kepala tiga.

Mengenai buah nangka yang banyak tumbuh di kebun kami. Ada kisah di baliknya, tentu tak tumbuh begitu saja. Empat hari lalu, di sela-sela menikmati buah nangka, Mama dengan detail menceritakannya kepada kami, tentang buah nangka yang telah memberi banyak kenikmatan untuk kami sekeluarga.

Di suatu waktu saat kami lagi kecil, orangtua kami hendak pergi ke kebun. Saat itu air Irigasi Sungai Wae Dingin belum masuk di Golo Mongkok. Orang-orang kampung masih mengolah lahan kering.  Bapak dan Mama juga begitu, mengolah lahan kering di dekat Kampung Ikong Kilo, yang kini telah kami alihkan menjadi lahan persawahan. 

Dalam perjalanan menuju kebun, Bapak dan Mama dipanggil oleh warga yang sedang menikmati buah nangka di depan rumahnya. Tak menyia-yiakan kesempatan, mereka pun mampir, lalu dengan tersipu malu menikmati buah nangka yang telah matang itu.

Usai mereka menghabiskan buah nangka, Bapak lalu membawa biji-biji nangka itu untuk dibawa ke kebun. Biji-biji itu pun ditanam. Tumbuh dan berkembang. Menghasilkan buah yang berlimpah setiap tahunnya. Begitu kisah di balik buah nangka yang terus kami nikmati hampir tiap hari belakangan ini.

Seminggu lalu, di sela-sela kerabat dekat kami beristirahat sebelum merontok padi, saya membawa buah nangka yang telah masak bagi mereka. Mereka pun menikmatinya. Aroma buah nangka yang khas pun dominan dibanding sekumpulan padi yang hendak dirontok.

Saat mereka sedang asyik menikmati buah nangka, satu di antara mereka memberikan komentar yang nyeleneh tetapi bermakna.  

“Jangan hanya tahu makan. Sehabis makan, bijinya disimpan. Dibawa pulang menuju rumah. Ditanam di kebun,” komentar Om Yosef.

Meski ia menandaskan komentarnya dalam nuansa yang tak serius, namun pesannya sarat makna. Kiranya kita tak hanya tahu menikmati, sesekali kita menanam. Tujuannya untuk menorehkan jejak sebelum pulang dan hilang.

Begitulah. Jika hendak menikmati buah nangka, sesekali mampir ke kebun kebanggaan keluarga kami. Ada sejuta cerita yang siap disuguhkan, tentu dengan buah nangka yang sedap untuk dimakan. Apabila Anda beruntung, saat pulang, kami hadiahkan buah nangka yang mudah. Asal jangan minta yang aneh-aneh. ***LOL***.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *