Seorang Pembaca Tidak Boleh Pesimis di Hadapan Penulis

0

Buku yang ini bagus gak yah? (sumber gambar: pixabay.com)

Loading


Itok Aman | Redaksi

Saya suka mendengar seorang penulis bercerita tentang bagaimana ia menulis buku. Kalau kamu mengenal lebih dari satu penulis, percayalah delapan dari sepuluh penulis lebih suka menceritakan buku-buku yang mereka baca. Seorang penulis tidak akan terang-terangan mengakui penulis lain yang bisa saja mereka idolakan sebab yang mereka idolakan bukanlah penulisnya melainkan tulisannya.

Saya suka mendengar penulis yang dengan begitu agresif menceritakan pengalamannya membaca buku. Saya suka ketika dia menjabarkan sebuah buku dari yang satu ke buku yang lain, dari buku tulisan si A ke buku tulisan si B. Apakah kamu sudah membaca buku yang dia ceritakan? Kamu mungkin saja sudah membaca buku tersebut. Namun, kamu hanya melihat dari sisi lain dengan sudut pandangmu tentang isi buku tersebut, sementara dia melihat buku tersebut dengan sudut pandangnya sendiri. Itulah mengapa di saat itu kamu akan terkesan nyambung dengan pembahasan mengenai buku yang kebetulan sudah sama-sama kalian baca.

Akan tetapi, saya lebih suka membaca buku lain yang luput dari apa yang ia ceritakan. Maksudnya agar saat ia bercerita, saya dapat mendengar dengan antusiasme yang tinggi dan dengan rasa peduli yang penuh ekspresif yang meluap-luap dari wajah saya. Selain itu, saya pun akan memiliki kesempatan yang sama saat saya menceritakan buku apa yang saya baca dan buku apa yang belum dibacanya.

Jika kamu membaca buku yang sama dengannya, bisa saja pemikiranmu nyaris persis sama dengannya mengenai buku tersebut. Sudah beberapa banyak buku yang kamu baca? Seorang pembaca yang suka membaca pasti lupa berapa banyak buku yang sudah dia baca. Namun, dia ingat buku apa saja yang sudah dibacanya karena ia lebih fokus membaca isi buku tersebut daripada menghitung tumpukan koleksi bukunya. Saya juga lebih suka membaca buku yang berbeda dari apa yang orang lain baca agar saya mempunyai kesempatan yang sama untuk bercerita dan sehingga dia pun wajib mendengar saya.

Juga akan tetapi, sangat disayangkan ketika seseorang ingin menjadi penulis, namun di sisi lain ia malas membaca. Akhir-akhir ini banyak terjadi demikian. Hal ini membuat beberapa orang merasa cemas. Bayangkan saja jika kamu adalah seseorang yang sudah memiliki buku hasil karyamu sendiri dan diterbit secara indie. Kemudian seseorang membaca bukumu dan dia tertarik untuk memiliki buku karyanya sendiri, lalu dipasarkan juga seperti karyamu. Ia mulai bertanya-tanya mengenai proses penerbitan buku, namun ia lupa bagaimana membaca buku.

Kamu ataupun saya pasti percaya bahwa kegiatan membaca buku bukan hanya dimaksudkan agar seseorang menjadi penulis tetapi juga untuk menambah wawasannya mengenai dunia tulis-menulis. Akan tetapi, seorang penulis wajib hukumnya membaca banyak buku.

Terkadang seorang pemula membuat kecemasan tersendiri pada temannya yang sudah memiliki buku. Kamu tahu bahwa kamu sudah menulis buku, dan kamu tahu kualitas temanmu seperti apa dalam dunia kepenulisan. Setelah melihat kamu menulis buku, dia juga ingin mulai menulis tanpa mulai membaca. Bukankah kamu menjadi orang yang berdosa? Kamu perlu berpikir bahwa mungkin dengan kualitas tulisanmu yang buruk saja sudah menghasilkan sebuah buku. Dia pun yakin bahwa dia yang buruk itu juga bisa menulis dan dibukukan.

Sebagian besar dari penerbit indie lebih berfokus pada bisnis. Asal kamu kirim naskah dan mampu membayar biaya cetak dari layout-nya sampai ISBN dan editing, kamu sudah bisa menjual bukumu di media sosial. Mereka tidak peduli dengan kualitas karyamu. Mereka hanya berfokus pada uangmu.

Kamu pernah membuat sebuah kue tart untuk ulang tahun seseorang yang paling spesial dalam hidupmu. Itu adalah kue pertama yang kamu buat. Setelah membuatnya kamu sadar bahwa kue pertama tadi memiliki cita rasa yang tidak pas atau adonannya tidak merata. Apa kamu tidak merasa menyesal dan malu ketika memberikan hasil terburukmu di hari spesial seseorang? Ini hanya tentang sebuah kue. Kamu masih bisa memperbaikinya jika dia masih berkesempatan merayakan ulang tahun pada tahun-tahun seterusnya, asal kamu berdoa agar dia masih hidup di ulang tahun berikutnya.

Seharusnya kamu belajar dari pengalaman itu. Bahwa cukup kue saja yang hasilnya buruk pada pertama. Lalu bagaimana dengan buku? Apakah kamu tidak melihat di luar sana banyak media cetak dan daring yang menerima berbagai jenis tulisan? Mengapa kamu tidak mencoba mengirim tulisanmu ke sana sebagai uji kelayakan apakah karyamu layak dipublikasikan? Kamu percaya pada decak kagum di beranda media sosialmu bahwa mereka memuji tulisanmu bukan karena kamu berteman tetapi karena memang kualitas tulisanmu bagus? Berapa harga kejujuran dari seorang teman yang kalau mencibirmu maka kamu akan menjauhinya? Teman siapa yang tega menilai dengan jujur bahwa tulisanmu buruk, tetapi terancam tidak berteman lagi denganmu? Kamu sudah terbiasa hidup dengan pujian maka jangan heran jika wajahmu memerah ketika ada yang mengkritisi tulisanmu. Seharusnya kritikan itu yang kamu butuh untuk memicu kepalamu berpikir lebih baik dalam menghasilkan sebuah tulisan yang baik. Bahkan kamu perlu selektif dalam memilih media mana kamu mengirim tulisan. Sebab ada beberapa media daring yang dibuka oleh orang-orang yang sedikit paham tentang blog dan website, tetapi tidak tahu tentang kepenulisan. Mereka lebih berfokus pada konten yang dimuat daripada soal kualitas konten.

Mari membaca buku, bukannya malah terperangkap decak kagum lewat status Facebook. Ada dua hal yang kamu dapat dari membaca; a) wawasanmu bertambah, b) kamu membuka luas ruang gerak pikiranmu jika kamu membaca untuk menulis.

Bahkan hal lain yang kita temui dari membaca buku adalah dengan menghasilkan karya-karya lain selain menulis. Betapa luar biasanya seorang pembaca yang hebat ketika dia malah menemukan dirinya lewat tulisan orang lain dan mulai hidup dengan menjadi dirinya sendiri. Kamu membaca buku bukan lagi untuk menulis tetapi untuk menemukan siapa dirimu, karya apa yang mau kamu bangun, dan dalam ruang apa kamu mau bergerak, bukan malah seperti orang-orang yang ramai mengikuti orang lain karena trend.

Lihat, kamu sering berjalan-jalan melintasi kota-kota kecil? Perhatikan di sekeliling SPBU di daerah tersebut, banyak berbaris penjual bensin dalam kemasan botol yang botolnya mereka ambil dari kemasan air mineral. Mereka ramai-ramai menjual bensin padahal jelas di samping mereka terdapat SPBU. Mereka hanya menunggu orang-orang yang terburu-buru pergi dan malas mengantri, tetapi jelas mereka jual dengan harga yang lebih tinggi dan dalam takaran yang lebih sedikit. Hanya satu dua orang yang membuka warung makan dan kedai kopi di seputaran SPBU. Dan jelas mereka yang jualannya lebih laris daripada orang-orang yang membeli bensin dalam kemasan botol. Maksud saya, mulailah menjadi diri sendiri tanpa berupaya mengikuti orang lain. Dia populer bukan karena trend, tetapi karena karakter yang dibangunnya dengan cara yang unik.

Sampai di sini, sudah sejak beberapa bulan terakhir, saya memutuskan lebih baik perbanyak membaca buku daripada menulis.

Kamu? Apa yang kamu putuskan? Hubungan dengan dia? Atau kamu yang diputusi? Ehmm…!!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *