Hukuman Semut Merah: Kisah Klasik Cinta Mama, Si Jantong Hati

0

filosofi gigitan yang mencerdaskan. (foto: dari Google)

Loading


Mario F. Cole Putra

Ada seorang anak kecil yang sedang duduk di bangku kelas 2 SMP. Namanya Ando. Rumahnya berada di pinggiran kali Wae Ces, Karot. Hidupnya pas-pasan. Itu bisa dilihat dari penampilan dan kehidupan keluarganya. Mukanya juga demikian pas-pasan. Tidak ganteng dan tidak jelek juga. Fifty fifty.

Namun, anak ini nakalnya minta ampun. Tiada hari tanpa membuat keonaran. Minimal dengan mamanya sendiri. Dan, mama Astin tidak pernah tanpa kelihatan urat lehernya akibat teriakannya yang melengking. Rumah-rumah di pinggiran Wae Ces tidak pernah alpa mendengarkan teriakan mama Astin. Semua karena Ando, anak ketiganya yang terkenal nakal itu.

“Ndok…. Saya dapat kau, kau kena nanti!”

Itulah teriakan yang setiap hari didengar oleh warga Karot. Entah pagi, siang, sore, ataupun malam. Sepanjang hari mendengar teriakan dengan kata-kata itu. Beruntung ada waktu tidur, sehingga telinga warga bisa beristirahat dengan teriakan mama Astin.

Kenakalan Ando tidak hanya di rumah dan sekitarnya. Sifat itu berlanjut hingga di sekolah. Guru-guru kompak mengeluhkan kelakuan anak ini. Selain usil dengan teman-teman, dia juga usil dengan guru-guru.

“Ndok, keluar atau saya tampar kau di sini?”

Itulah kata-kata yang sama, yang hampir selalu diucapkan oleh guru yang berbeda ketika melihat Ando yang sedang berulah. Di pihak Ando sendiri, bukannya memperlihatkan wajah bersalah, dia malah senang. Karena setelah diusir, dia bisa melancong ke mana pun dia mau.

***

Suatu ketika, di musim penerimaan rapor. Mama Astin sendiri yang pergi menerima rapor anak bungsunya itu. Hari itu pukul 07.15, mama Astin sudah berangkat ke sekolah karena setelah dari sekolah dia harus ke kebun untuk mempersiapkan lahan baru. Kebetulan mama Astin yang datang duluan, sehingga mama Astin yang duluan menerima rapor.

“Jadi tuang guru…?”

“Iyo ende. Neka rabo…”

“Baik sudah tuang guru. Terima kasih. Tabe”

“Tabe…”

Merah padam muka mama Astin ketika kaki kanannya keluar dari gerbang sekolah. Rupanya itu kode keras untuk Ando. Sempat mama Astin bertegur sapa dengan beberapa orangtua murid yang hendak datang mengambil rapor di sekolah. Tetapi, setelah itu, mama Astin berjalan cepat menuju rumah dengan wajah merah padam. Dari kejauhan, mama Astin sudah berteriak memanggil Ando.

“Ando, mari kita ke kebun. Siap pacul dan parang”

“Iyo mama..”

Tanpa tahu hal, Ando menuruti kata-kata mamanya. Dalam pikirannya, mereka hendak mengolah kebun agar bisa ditanami sayur-mayur. Informasi itu dia dapatkan pada malam hari saat mendengar mamanya berbicara dengan kedua kakaknya.

Setibanya di kebun, mama Astin menarik tangan Ando dengan agak kasar. Ternyata mama Astin menggiring Ando menuju rumah semut.

“Taro kau pung tangan di situ. Cepat!”

“Untuk apa mama?”

“Taro atau kau pung kepala bunyi dari ini pacul?”

Ando menjulurkan tangannya dengan perasaan takut. Belum sampai tangannya ke rumah semut, air matanya jatuh.

“Jangan kasi pindah itu tangan selama 30 menit. Itu hukuman untuk kau. Kau tidak naik kelas! Kau pung guru bilang kau tidak masuk selama 15 hari! Kau kemana saja? Orangtua sudah kasi sekolah kau, kau malah pemalas pi sekolah. Kau tidak naik kelas. Kau tidak pikir kami pung usaha untuk bayar kau pung sekolah kah?”

“Minta maaf mama. Saya salah mama. Minta maaf mama!”

Ando meminta maaf pada mamanya sambil menangis tersedu-sedu karena merintih kesakitan menahan sakitnya gigitan ribuan semut merah. Sebaliknya, mamanya terus-menerus memberikan nasihat pada anak bungsunya itu.

“Ando, neka hemong tombo de mama (jangan lupa omongannya Mama). JANGAN MAU JADI TAI!”

***

Apakah Ando akan berubah? Benar. Ando berubah. Kisah pilu tahun 1994 itu membuka mata dan pikirannya. Hukuman disertai nasihat mama Astin mengubah hidupnya. Nasihat mamanya itu selalu terngiang dalam sanubari. Tetap bertahan di kelas 2 SMP bukan batu sandungan melainkan batu loncatan untuk dia meraih kesuksesan di masa depan.

Tahun 2017, Ando dipercaya menduduki kursi nomor satu di sebuah instansi pemerintahan kabupaten Manggarai bidang pendidikan. Kursi itu diperolehnya lewat kecerdasan pikiran, kesetiaan, keuletan dan dedikasinya dalam bekerja, disertai pengalaman “Emas di ujung rotan” dari mamanya di masa lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *